Picture by: https://asset.kompas.com/
Membeli pecel di warung? Ah udah biasa. Membeli pecel di pasar? Itu juga sudah biasa. Bagaimana kalau membeli pecel di restoran? Tetap saja, sudah biasa. Trus, apa yang tidak biasa? Yang tidak biasa adalah membeli nasi pecel di warung yang terletak di ketinggian lebih dari 3.000 mdpl. Memangnya ada warung seperti itu? Tentunya ada, dong. Simak berikut penjelasannya beserta siapa pemilik warung tersebut.
Mungkin nama Mbok Yem atau yang bernama asli Wakiyem ini masih sangat asing di telinga orang awam. Tapi namanya sangat populer dan terkenal di kalangan para pendaki gunung. Usut punya usut, wanita bertubuh subur ini adalah pemilik warung pecel dengan lokasi tertinggi di Indonesia atau bahkan di dunia yaitu di dekat puncak tertinggi Gunung Lawu atau di ketinggian 3.150 mdpl atau selisih hanya 115 mdpl dari Puncak Hargo Dumilah. Sebagai informasi, Gunung Lawu memiliki ketinggian 3.265 mdpl.
Selain nasi pecel, Mbok Yem juga menjual berbagai jenis jajanan dan juga minuman, sepeti wedang jahe, teh atau bahkan kopi. Harga yang dipatok pun tidak mahal, karena satu porsi nasi pecel hanya dijual dengan harga Rp10.000 saja. Oleh karenanya, banyak pendaki yang entah itu sedang naik atau turun, selalu mengunjungi warung Mbok Yem ini.
Lantas siapa itu Mbok Yem?
Picture by: https://awsimages.detik.net.id/
Sebelum menjadi penjual nasi pecel di Gunung Lawu, Mbok Yem berprofesi sebagai pencari bahan untuk jamu, mulai dari akar-akaran sampai dengan rempah dan daun-daun khusus. Sudah banyak jalur yang dia coba untuk menuju puncak dan kerap bertemu juga berinteraksi dengan para pendaki. Dari situlah kemudian tercetus ide ingin membuka warung yang dikhususkan kepada para pendaki Gunung Lawu. Akhirnya di tahun 1980-an, Mbok Yem mulai membuka warungnya di Gunung Lawu.
Selain berjualan, warung tersebut juga digunakan sebagai tempat tinggal. Karena pada tahun itu usianya masih tergolong muda dan masih kuat untuk naik turun gunung, maka bahan dasar untuk berjualan pun dibeli dan dibawanya sendiri sampai ke warungnya itu. Di awal, Mbok Yem berjualan ditemani dengan suami dan keempat anaknya. Tapi setelah suaminya meninggal dunia, akhirnya Mbok Yem tinggal sendirian di tempat tersebut.
Sekarang ini, Mbok Yem sudah tidak lagi naik-turun sendiri untuk membeli bahan untuk berjualan, karena ada anak dan orang-orang tertentu yang selalu membawakannya ke warung yang datang 3 kali seminggu.
Ketika ditanya apakah tidak ingin hidup di tempat bawah seperti orang lain pada umumnya? Mbok Yem menjawab belum tahu kapan dia ingin menutup warung dan tinggal permanen di pemukiman warga seperti normalnya. Hanya saja, untuk sekarang ini, Mbok Yem ingin tetap melayani para pendaki.